Beranda > PLUS plus > Kala Si Kondektur itu bertoga…

Kala Si Kondektur itu bertoga…

Hari ini lirih kuucap “Dirgahayu Pak Bos.. Semoga Tuhan senantiasa menjagamu.. Pendidik dan Idolaku..”. Yach, hari ini bapakku tepat berusia 54 tahun. Meski tak bersamanya hari ini, tapi aku tahu bahwa kerut di keningnya menandakan satuan angka puluhan di usianya. Pagi ini kuluangkan waktu untuk mendengar suaranya di ujung hape seraya memastikan bahwa kondisi beliau sehat di hari jadinya dan puasa keduanya. Jika ingin mengenal beliau, bisa dilihat di sini, atau di sini, juga di sini. Kali ini aku ingin persembahkan coretan ini buat ultah beliau sekaligus kuikutkan di lomba blog SSE dengan tema “Menjadi Pendidik”..

Sambil menatap wajah si Aspire yang kali ini kujadikan teman mencoretku, aku ingat kalau saat ditanya dalam sesi wawancara kerja, aku akan jawab bahwa bapakku adalah seorang dosen.. Ya, meski dosen SD saja heehee.. Satu profesi mulia yang beliau emban dan tekuni selama separuh usianya. Dalam satu sesi obrolan kami berdua ditemani dua cangkir kopi dan cemilan malam, beliau menceritakan bahwa beliau memilih untuk menjadi guru atau pendidik karena di masa itu masih jarang sekali yang menekuni profesi itu sebab kualitas SDM juga masih rendah. Bibir yang semakin menghitam itu sangat lancar bercerita tentang bagaimana waktu beliau SMP banyak temannya baik yang kurang mampu atau yang anak orang berada tertinggal di semua mata pelajaran karena kesempatan belajar yang sedikit sebab sang guru tidak masuk atau jadwalnya berbenturan dengan sekolah lain. Akhirnya beliau berinisiatif untuk mengadakan kelompok belajar guna menambah jam belajar mereka dengan dirinya sebagai pembimbingnya. Luar biasanya itu dilakukan setelah beliau bekerja serabutan sebagai kuli angkut, kuli bangunan, atau kondektur guna memenuhi kehidupan sehari-harinya karena memang beliau tidak mau dikirim uang oleh orang tuanya. Yah.. kondektur yang selalu menunduk jika yang ditarik ongkos adalah pendidik atau guru SMP-nya.

Aku menggigit bibir kala itu, sungguh trenyuh dan memang aku belum seujung kukunya dibanding beliau. Baik dari masa kecilnya maupun sampai sekarang pun, aku belum bisa menyamainya. Masih dalam kesempatan yang sama, kami obrolkan suka dukanya menjadi pendidik selain slogan Ing Ngarso sing Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, maupun Tut Wuri Handayani (Ki Hajar Dewantara-Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) yang wajib diemban dalam melaksanakan tugas kependidikan. Apa saja itu?

Pendidik haruslah bisa digugu dan ditiru..

Beliau bercerita bagaimana beliau kesal dan sakit hati pada panitia lomba Matematika tingkat SD se-Kabupaten di Lampung pada tahun 1993. Waktu itu beliau mendampingi anak didiknya (waktu itu ya aku sendiri) untuk berlomba. Saat di final, babak rebutan dengan format lomba Cerdas Tangkas, aku meraih juara II. Tapi bukan karena aku anaknya dan kami tidak juara I yang membuat beliau kesal tetapi karena keganjilan yang demikian kental terasa dalam lomba. Pertama, setelah makan siang yang disediakan panitia, hampir semua peserta kecuali peserta dari tuan rumah, mengalami mual dan muntah-muntah, begitu juga denganku namun untungnya aku bisa bertahan sampai ke final. Kedua, saat sesi final, di babak teori aku unggul jauh dari tuan rumah. Namun, saat babak rebutan aku habis dipecundangi si wakil tuan rumah. Bagaimana tidak, soal baru dibacakan dua atau tiga kata, sudah direbut oleh wakil tuan rumah dan jawabannya benar. Yang membuat beliau tak habis pikir, bahkan ada dari pertanyaan yang baru berupa pernyataan, belum ada kata tanyanya.. Ah.. aku waktu itu masih kecil sehingga tidak mengerti tentang keganjilan itu. Menurut beliau, kecurangan seperti itu tidak pantas dilakukan oleh panitia yang notabene adalah pendidik juga. Jika CURANG yang ditanamkan, maka aptidak salah bila korupsi semakin merajalela di masa sekarang sebagai buah dari pendidikan yang tidak layak untuk dipatuhi dan dicontoh atau diteladani (digugu lan ditiru).. Sepahit apapun, seorang pendidik harus mengedepankan KEJUJURAN dalam tugasnya agar anak didiknya kelak bisa meneruskan sifat baik ini sampai ke anak cucunya.

Pendidik harus bertanggung jawab..

Dalam menghidupi aku dan adikku setelah kami menginjak pendidikan menengah. Bapak dan Ibu yang juga dosen SD sadar bahwa gaji mereka tidak mencukupi. Oleh sebab itu mereka mulai gencar mencari penghasilan tambahan dan salah satunya adalah usaha dekorasi dan rias pengantin. Tapi sosok yang tubuhnya mulai renta itu adalah sosok yang sungguh bertanggung jawab. Tidak hanya untuk keluarganya tetapi juga untuk profesinya. Walau subuh baru pulang dari bongkar dekorasi pengantin, tapi jam beliau sudah siap di lapangan untuk upacara bendera hari Senin atau siap di depan kelas jika itu adalah hari lain. Belum cukup? Suatu ketika aku melihat beliau termangu setelah mendengar kabar akan dimutasikan kembali ke SD di desaku setelah sebelumnya dari SD yang sama dimutasikan ke SD di lain kecamatan. Iseng aku bertanya kenapa bapak seperti sedih? Bukannya enak kalau di desa sendiri? Tapi jawaban bapak luar biasa. “Mas, kalau di desa lain, bapak tidak ketemu dengan wali murid setiap waktu. Tapi kalau di rumah? Di ladang ketemu, kerja bakti juga, di arisan kampung, di acara nikahan atau justru layatan, dan banyak kesempatan ketemu dengan mereka. Jika anaknya nilainya jelek, nakal, atau susah diatur, MALU bapak mas.. Tanggung jawabnya sungguh lebih besar kali ini, dan bapak harus siap..” Duuh, aku semakin kagum padanya…

Pendidik harus tunduk pada aturan dan jangan membangkang..

Ada kisah mengharukan ketika beliau yang tadinya hanya tamatan SPG harus menempuh penyetaraan D-II PGSD sebagai syarat pendidikan terakhir guru SD waktu itu dan harus bergelut dengan modul-modul kuliah. Mengenal komputer dan laptop, belajar bahasa Inggris, dan sederet mata kuliah lain yang harus beliau lahap. Aku masih ingat beliau sampai kurus karena belajar ekstra keras.. “Otaknya udah ubanan mas..” candanya waktu itu. Tapi beliau tidak menyerah dan tetap ikut aturan institusinya. Dan meski untuk penyetaraan S-1 beliau tidak mengikuti sebab faktor usia (dispensasi institusi), tapi ada satu hal yang membuatku selalu meneteskan air mata ketika melihat foto di bawah ini.. Kata beliau sambil berkaca-kaca “si kondektur itu akhirnya pakai toga juga..”. I love you pendidik idolaku..

  1. Juli 22, 2012 pukul 5:36 PM

    Lha, Bapakku 58 je kang.. Luwih sepuh bapakku jebule.. hehehehe..

    • Juli 22, 2012 pukul 6:11 PM

      Berarti bener kalau galau bro.. Nimang cucu..

  2. cho
    Juli 28, 2012 pukul 9:02 AM

    bapakku luwih tuo meneh donk..kelahiran 1949 ki 😉

  1. September 16, 2012 pukul 5:27 PM

Tinggalkan Balasan ke ariesadhar Batalkan balasan