Barangkali ada yang mengerenyitkan kening saat membaca judul coretan kali ini. Yap.. dalam bahasa Indonesianya berarti apa ya? #garuk-garuk.. Pokoknya suka ikut bepergian dan mengintili eh mengekor. Itulah aku dulu.. sekarang sih kadang-kadang meski lebih sering dikintili dan diklayoni hahaha..
Tahun 90-an di desaku banyak sekali pemuda-pemudi yang merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Tak terkecuali dengan Om dan Bulik yang notabene adik-adik kandung Ibuku.. Ada si Nyah Ipit, Wek Wung, Om Bandot, dan Om Plenton.. Hemh, dan jaman dulu rasanya merantau itu sangat jauuuh karena komunikasi hanya via surat pos. Ketemu pun hanya beberapa kali dalam setahun dan sungguh berbeda dengan sekarang dimana bisa dipotong dengan perjalanan udara ataupun video call untuk tahu kabar dan kondisi saudara saat berjauhan. Minimal ya SMS, BBM, atau sekedar misscall biar ditelepon balik.. hahaha..
Ada saat-saat tertentu bagi empat perantau di atas untuk pulang ke rumah Mbah Kung dan Uti. Selain Natalan, Lebaran, Tahun Baru, ada juga hari-hari seperti ulang tahun desa dimana para perantau seolah punya janji untuk reuni dengan teman-temannya baik sesama perantau atau yang stay at village. Hemh.. rasanya kebiasaan itu sudah mulai memudar seiring modernisasi jaman dan mungkin daya jual dan pesona “ulang tahun desa” yang mungkin kalah pamor dengan gemerlapnya kota. Aku masih ingat bagaimana ulang tahun tetangga desa yaitu Sri Bhawono benar-benar menjadi agenda rutin para perantau, minimal jajanin bakso dan martabak buat saudara-saudarinya di rumah lah..
Aku lupa.. ada satu lagi yaitu liburan sekolah, dimana salah satu perantau pasti ada yang pulang. Kenapa? Karena ada satu anak kecil yang selalu menanti penuh harap di depan rumah (padahal gak ada kabar mau pulang via sms atau kentongan sekalipun). Atau si anak kecil itu tadi tiba-tiba terbangun pagi karena mendengar ada derit mobil berhenti di jalan besar yang jaraknya 100an meter dari ranjangnya. Meski gerimis atau dingin bukan kepalang, dia akan berlari kecil sampai depan rumahnya atau tak jarang ke arah jalan besar dan sering pula melangkah pulang dengan gontai bila ternyata hanya truk yang berhenti atau memang mobil penumpang tetapi bukan sosok yang diharapkannya. Ah.. dia benar-benar sok paham bahwa empat perantau pujaannya itu selalu datang pagi-pagi buta. Kadang terisak dia di kamar atau menghambur ke pelukan bapak ibunya sambil berkata masygul..
“Tak kiro Om opo Bulik kundur..”
(sumpah nangis juga sekarang diriku..) Baca selengkapnya…
Komentar Terbaru